A video titled "3 easy methods to kill ourselves without feeling pain" caught my attention today. Interesting. I watched the entire video and didn't miss a second of the speaker's content. He appeared to have not mentioned any tactics as he looked at the camera and asked, "Hey, what's wrong? Are you alright? You'll never be alone. I’m here.”
I remember that I had previously seen this video concept, in which the content creator was not the same person. I see a variety of responses to this topic in the comments section. Someone applauded it. Some people bullied the creator, and others left emojis, which I understand as a form of appreciation.
Typically, our social media algorithm will direct us to similar videos if we are interested in one. I continued to view content about anxiety, stress, suicide attempts that didn't work out, and suicides captured on camera. Interesting. In addition, reading comments on these articles has become a pastime of mine. I understand how to infer these people's behavior and speech patterns from the material. I can see how their justification shows little about their nature. This reminds me how frequently human fingers are gruesome and sharper than the razor blades my mother sells in her little kiosk, hehe.
We seem compelled by circumstances to respond to this challenging process at particular periods in life where we typically refer to it as the point of downs. Whether we are resilient or not, this life stage will inevitably impact who we are. Humans react to down points in different ways, of course. Others people pray, some laugh and have fun, some run from life (commit suicide, give up), some proudly accept who they are and work to get better, some put in twice as much effort, and so on. I disagree with terms like "manusia lemah, manusia kuat," "dumb lady, helpless woman," and "the most alpha, si paling mellow," which seem to be the norm for those who have problems in the outside world. But even so, although we are all mortal, this social classification continues to spread and become very widespread. Fundamental human values shouldn't be divided up because of the variances in our talents and abilities to handle complex situations that we all have. Who are we?
Anyway, let's narrow this writing down to my concern over the judgment of people who are heart-wrenching towards injured humans out there who have chosen to give up on their breath of life.
Tindakan melukai diri atau mengakhiri hidup sendiri, tidak pernah dibenarkan. Banyak pihak yang tentu dirugikan atas upaya ini. Siapa yang paling terluka? Diri sendiri. Barangkali setelah kita meninggal karena bunuh diri, arwah kita akan menyesalinya, menangis sejadi-jadinya karena telah menyia-nyiakan kehidupan yang begitu berharga. Kedua, Tuhan dan keluarga kita. Bayangkan betapa patah dan remuknya hati yang maha Kuasa saat melihat ciptaanya harus berpulang karena menyerah, bayangkan bagaimana pria dan wanita renta yang melahirkan kita itu melihat kita mati bersimbah darah. Ketiga, sahabat kita, kawan kita, guru sekolah dasar, bahkan boleh jadi mantan pacar yang menangis terisak-isak di dalam hatinya. Aktivitas berkelanjutan yang bisa mereka lakukan setelah itu bukanlah menangis, tetapi mengikhlaskan dengan doa, dengan lilin yang akan dinyalakan di tempat peristirahatan kita tiga kali setahun; paskah, hari arwah dan Natal. Atau bahkan beberapa kali jika mereka masih terus menyimpan rindu. Yakin masih mau melukai diri dan bunuh diri?
Memotong urat nadi, loncat ke sungai atau tebing, menabrakkan diri ke bahu jalan, atau bahkan tindakan merugikan dalam bentuk lainnya tidak pernah menjadi jalan keluar yang tepat, karena itu, kita perlu mencari suaka; “suaka seperti apa?” bisa berupa tangan anggota keluarga yang mengerti duka dan perih kita, atau bahkan professional yang tidak akan menolak menyelamatkan kehidupan manusia yang sedang berencana check in ke alam baka. Di beberapa kasus, tindakan melukai diri dikategorikan sebagai jalan keluar oleh orang-orang yang mengidap PTSD (PTSD) post traumatic stress disorder. Karena ini adalah asumsi orang yang terganggu jiwanya, maka pemikiran tersebut jelas sangat keliru. Dikutip dari sehatq.com, PTSD adalah suatu gangguan psikologis yang berisiko melukai diri sendiri seperti dengan menyilet tangan serta membenturkan kepala. Orang dengan PTSD melukai raganya sendiri dengan tujuan membentuk jalan keluar untuk mengatasi kekacauan yang sedang dirasakan secara psikologis.
Dari curhatan siswa saya di beberapa waktu yang lalu, saya mendengar kisah “barcode trend” yang sedang terjadi di sekolah mereka. Bukan tanpa alasan saya merasakan kegelisahan yang nyata. kepada siswa saya, saya menyerankan bagaimana dirinya harus bersikap terhadap fenomena ini mengingat dia masih belia dan rupanya memiliki peranan cukup penting di organisasi intra sekolahnya. Kekhawatiran saya berlanjut sampai saat ini, undoubtedly. Sepengetahuan saya, pasien PTSD melakukan tindakan self-harm secara sadar dan merasa bahwa upaya yang mereka lakukan dapat mengalihkan sakit dan sesak yang sedang dirasakan. Rasa cemas, sedih, malu, dan marah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata seringkali membuat mereka percaya bahwa setiap kali mereka melukai diri, mereka akan aman. Berbeda dengan orang yang matang merencanakan bunuh diri, pasien PTSD tidak bermaksud untuk bunuh diri. Meski begitu, aktivitas buruk yang konstan mereka lakukan tersebut lambat laun dapat mengantarkan mereka lebih cepat ke gate penerbangan terakhir dunia menuju kehidupan setelahnya.
Apakah semua pasien PTSD akan terbuka dengan orang? Tentu tidak. Tidak tahu persis kalau ditanya secara general, maksud saya. Kembali lagi, manusia punya cara berbeda merespon luka. Ada yang terbuka kerena ingin sembuh, ada pula yang sembuh sendiri karena ingin berubah, ada yang sembuh karena sudah menerima dan memaafkan diri. Ada yang berhasil karena dibantu.
Sebagai penyintas, saya merasa bahwa tindakan yang pernah terjadi saat meyakini bahwa self-harm adalah jalan keluar, sangat keliru. Apakah saya menyesalinya? Tidak 100%. Apa yang justru disesali? Respon orang lain yang begitu melukai perasaan saya dan bahkan orang lain di belahan bumi berbeda saat mendengar penilaian yang manusia-manusia lain katakan ketika tahu dan menyaksikan secerca bekas-bekas luka yang ada. Tahukah kamu, kata-katamu bisa membunuh manusia yang sudah sembuh itu. Tahukah kamu, gelengan kepala dan sindirian yang kamu lemparkan kepadanya saat lengan bajunya tersingkap sedikit, bisa memicunya menyadari bahwa usahanya untuk sembuh tidak pernah punya tempat yang suportif di hati orang-orang disekelilingnya.
Mendengar fenomena barcode trend, saya mendoakan lebih banyak orang percaya bahwa mereka tidak sendirian dan mereka butuh dibantu, diselamatkan secepatnya agar tidak makin tersesat. After all, selebar apapun senyuman manis seseorang, dia bisa saja tengah memikul beban yang luar biasa besar.
Talking about PTSD kembali, upaya melukai yang penderita lakukan juga biasanya dilakukan dengan tujuan “membangunkan” kesadaran diri sendiri. Mereka sering kembali tenggelam dalam memori masa lalu yang membuatnya trauma. Tahukah kamu trauma butuh waktu lama untuk pulih?
To be considered:
Jika seorang manusia terluka dan dia adalah pasien PTSD yang melukai diri, apakah dia lemah dan tak berdaya? Tidak.
Jika seorang manusia lainnya terluka tetapi tetap bisa menjalani hari-harinya dengan bahagia dan hanya menangis saat tak ada satupun yang terjaga kala larut menuju pagi, apakah dia lemah dan tak berdaya? Tidak.
Dua tipe manusia ini adalah manusia yang sama-sama kuat.
Sebagai sahabat yang mengerti bahwa mereka berjuang melewati proses yang berat, bentuk dukungan apa yang mesti kita berikan?
Sepengalaman saya, mohon jadilah pendengar yang setia, pendengar, pendengar yang pengertian. Kedua, peluk mereka, kita semua menyadari bukan bahwa pelukan yang hangat bisa membuka percakapan yang lebih dalam? Ketiga, pertemukan mereka dengan mereka yang mengerti bagaimana menyembuhkan luka batin dari kaca mata medis (psikolog). Keempat, doakan mereka, kelilingi mereka dengan energy positif yang membuat mereka sedikit-demi sedikit mampu menerima diri dan berjuang melawan segala tantangan hidup serta kesakitan yang datang. Mereka, saya, kami, kita semua akan sangat berterima kasih kepada kalian yang bersedia menggenggam tangan disaat kebanyakan orang menolak. Terima kasih ya.
Kenapa? Kenapa mesti peduli?
Karena saya, kamu, dia, hidup saya, hidupmu, hidupnya, hidup kita, berharga.
Comments