Written by me as a tribute to anyone who is going through the same story.
2 am
Ada banyak hal yang merasuki pikiranku. Membuat larut malam ini terasa lebih berfaedah, sebab, biasanya kugunakan untuk maraton film-film science fiction kesukaanku. Terkadang aku juga menonton yang romance, juga yang bergenre horror. Well, malam ini seluruh pekerjaan yang tertera di to do List akan kukerjakan satu persatu. Sembari sesekali meneguk susu hangat, aku asyik mengecek beberapa email yang masuk. Malam ini suhu udara sangat dingin, biasanya tidak begini. Entah kenapa, ditambah gerimis yang mulai turun dan dua ekor cicak yang bertengkar di tembok tepat bersebelahan dengan meja belajarku seolah menciptakan suasana mistis yang menganggu. Aku meraih kaos kaki biru imut kesayanganku yang merupakan hadiah dari seseorang. Kaos kaki itu membuat telapak kakiku terbalut hangat. Kesunyian tak lagi terasa sejak gerimis turun, mulai lebat hingga mengundang kehadiran hujan. Mataku mulai sayu. Lelah menatap laptop ini. Pandanganku kualihkan ke arah plafon kamar. Lalu ke setiap sudut yang berisi majalah dinding, dreams list, to do list, barisan para vocabulary Bahasa asing dan movie list yang harus kunonton usai urusan ini berlalu. Aku memilih rebahan sejenak, waktu menunjukkan pukul 3AM. Disinilah aku, di kasur empuk dengan sprei motif Tayo The Little Bus yang hangat dan wangi. Tiba-tiba bersama hujan, sejuta rangkaian pengalaman berselimutkan rindu mengetuk pintu nalar, gembok kenangan masa lalu pun terbuka. Lampu tidur kamarku berkelap-kelip indah seakan meminta alur itu diulang kembali ..
Let me tell you, ini sebuah cerita… 🍂
SENJANI, seorang teman, seorang saudari. Aku bangun pukul 3am. Lebih tepatnya dibangunkan sang jam weker biru antik yang sengaja kuletakkan disamping daun telinga. Aku menuju dapur, meletakkan gelas susu yang sudah ludes dan membuat susu hangat yang baru, dengan ekstra gula. “padahal kan sudah manis” gumammu kan?. Betul. Aku menyukai sesuatu jika itu bercita rasa lebih manis sekalipun secara natural sudah manis. I don’t care. Gigiku masih aman, sehat, tak satupun berlubang. “lain kali jangan drama lagi, tidak semua orang menyukai caramu melakoni peran yang bukan dirimu” Senjani mengirim pesan padaku tiba-tiba. Dia sempat menegurku kemarin siang ketika kami sekelas bercakap-cakap lewat video-conference. Sekarang dia menerorku kembali lewat WhatsApp. Apa-apaan anak ini. Katanya aku terlalu berdrama soal senior spesial yang kuceritakan pada teman sekelas. Senior itu namanya Davis. Kakak semester yang waktu kami baru jadi freshmen, dia sudah ditingkat senior dan siap diwisuda. Sekarang dia sudah bekerja sebagai tour guide dan memiliki sebuah travel agency di kota tetangga (kota penuh potensi pariwisata). Orangnya super sibuk, agak dingin. Perkenalan kami menjadi intensif bermula dari semester 7 yang lalu saat aku magang di kantornya. Dia menyukaiku. Setidaknya itu yang kurasakan. Hal ini kuceritakan pada teman-teman sekelas saat video-conference, iseng saja buat jadi bahan bicara, Senjani, temanku si cerewet itu kadang tak suka jika aku bicara soal pria. Menurut Senjani, aku terlalu polos untuk hal hal sesensitif itu. Senjani mengenalku sejak SMA. Kalau soal asmara, menurutku pengalamannya mungkin bisa dibukukan dan dimuseumkan soalnya kisah-kisahnya beragam, unik, inspiratif, memiliki alur yang tak tertebak hingga akhir. Baik, sudah dulu soal Senjani. Alasan kenapa aku menceritakan soal kak Davis adalah karena dia adalah pacarku sejak sepulang magang. Aku baru berani cerita sekarang. Hehehe. Hal ini mengganggu Senjani. Senjani bilang, Seseorang seperti kak Davis yang sudah mapan, sibuk bekerja dan futuristik tidak mungkin mengencani calon sarjana yang masih kebingungan dengan proposal skripsinya, yang tidur 4 jam sehari, tak teratur pula. Aku tak peduli. Kutelepon kembali Senjani yang tadi mengirim pesan terlebih dahulu. Percakapan kami dilanjutkan lewat video call sekalian aku menemaninya sahur via online. Selepas sahur, aku kembali rebahan. Senjani sepertinya juga sibuk mengejar deadline. Kak Davis, he made my day. Tiga bulan magang di kantornya adalah pengalaman terbaik yang pernah ada. Aku dapat mengaplikasikan semua yang kupelajari secara teoritis dibangku kuliah. Setiap hari aku berbincang dengan foreigners dari berbagai negara. Itu sangat menyenangkan, mengurus ticketing, mengatur jadwal tur, tur bersama dan masih banyak lagi. Selama magang, Kak Davis sangat profesional. Meskipun aku adalah adik tingkatnya di fakultas yang sama, di tempat ini, aku adalah pegawai magang. Tak ada nepotisme apapun. Ketika aku melakukan beberapa kekeliruan, semua orang disana memberiku feedback yang konstruktif bagi diriku. Kak Davis juga begitu. Oh iya, disana aku memanggilnya Pak Davis. Hahaha. Lucu saja. Sepulang magang dia justru menjadi kekasihku, aku harus menyapanya Davis tanpa embel-embel “Pak”. (unforgettable rainy day) Davis mengunjungiku. Katanya ada beberapa urusan di Bank yang tak bisa diwakili, dia juga ada janji temu dengan rekan kerjanya. Well, dia menyempatkan waktu ke rumah, membawa es krim dan bingkisan seperti yang dijanjikannya, plus sekotak masker dan hand sanitizer. Orang tuaku tak masalah dia datang. Semua yang datang ke rumah dianggap teman hehehehe. Davis bercerita banyak hal tentang dunianya, keluarganya termasuk sharing soal menurunnya omset dan minat liburan karena pandemic luar biasa ini. Sesekali kami juga bercanda gurau soal kampus “nostalgia jaman kuliah” begitu katanya. Disaat yang bersamaan, Senjani sampai dengan skuter dan sekantong ubi kayu pesanan ayahku. Dia memang berencana mengerjakan revisi proposalnya di rumahku karena Wi-Fi di kosannya sedang eror. Kak Davis dan Senjani saling tersenyum hangat. Menyapa lewat senyum dan kedipan mata. Setelah cuci tangan di teras rumah, Senjani lalu lurus menerobos ruang tengah dan langsung ke kamarku. Kak Davis terheran-heran. Kujelaskan bahwa Senjani itu sudah sangat akrab dengan keluargaku, rumahku dan segala isinya. In short, Kak Davis pulang. Dia takut diguyur hujan dalam perjalanan, karena langit sudah sangat mendung menandakan sebentar lagi awan akan menangis. Sebelum pulang, dia berpesan, katanya “tak perlu sering-sering memutar lagu celengan rindu milik Fiersa Besari dek, kamu itu sering baperan, rindu itu jangan diumbar nanti melelahkan, simpan saja di lubuk hati yang paling dalam sampai sang waktu mengatur sebuah jumpa yang tak terduga”. Hahaha pola pikir realistis dan dewasa seperti ini sangat keren jika kubangga-banggakan di depan temanku. Kak Davis lalu melambai pamit. Dalam hati aku menghantar doa, semoga ia sampai di rumah dengan selamat. Another Sleepless night 2 am. Bab IV ku sudah rampung. Tinggal menulis kesimpulan dan saran kemudian tahap finishing termasuk merapikan writing format, maka siap kukonsultasikan dengan dosen pembimbingku. Skripsiku secara garis besar membahas tentang conversation analysis pada video percakapan berdurasi 30 menit milik seorang public figure favoritku. Metode penelitian yang kugunakan adalah descriptive qualitative method. Analisisnya mendalam dan kompleks karena aku meneliti seluruh elemen percakapan pada ujaran-ujaran yang diucapkan oleh kedua pembicara selama percakapan mereka berlangsung. Bagian paling menguji kesabaranku adalah ketika membuat transkripsi percakapan menggunakan sederet simbol trasnkripsi analisis percakapan dan harus memperhatikan setiap detik yang tepat ketika sebuah ujaran diucapkan pembicara. Bertemu dengan overlaps adalah yang paling menggangguku. Tapi tak apa. Manusia mesti berproses tanpa banyak protes. Aku meneguk lagi susu hangat. Merentangkan tangan, istirahat mata sejenak dan menghela napas panjang. Handphoneku berdering (padahal sudah pagi buta 3 am) yang menelpon adalah Josef. Mau tau cerita tentang Josef? Dia ini orang baik, sikapnya hangat, perhatian, sopan, bertubuh atletis, berkacamata, hidungnya mancung, dia pacarku yang lain. Maksudku pasangan bicaraku, seorang teman, sahabat baik sejak SD. Kami berbincang soal kegiatan masing-masing, basa-basi sebentar kemudian menutup telfon dengan alasan masing-masing sudah mengantuk. Padahal sebenarnya aku belum. Oh iya, kaos kaki warna biru kesayanganku adalah pemberian Josef. Dulu aku pernah menyukainya, tetapi lucu sekali jika mengingat itu. Kelas 3 SMP dimana kami bertukar kado saat pesta perpisahan sekolah. Aku memberi Josef sebuah gelang dan dia memberiku buku diary kecil warna pink Hahaha, kala itu Diary warna pink adalah trend. Josef tau aku menyukai dirinya, dia pun begitu, tetapi sampai sekarang kami hanya begini-begini saja. Aku dengan pasanganku Kak Davis sedangkan dia melayani Tuhan sesama. Yups, Josef adalah seorang Frater. Dia bilang dia akan memberkati pernikahanku suatu saat nanti. Katanya, pernikahanku haruslah pernikahan suci. Aku hanya hiyaaa hiyaaa saja saat dia bilang begitu, dulu. Josef selalu punya tempat yang spesial di hatiku. Seorang teman, sahabat, saudara yang memberiku definisi nyaman yang tak sama seperti yang kutemukan pada siapapun. Di telfon tadi, aku sempat menceritakan soal kak Davis. Kugambarkan bagaimana Kak Davis menjelma sebagai seseorang yang sekarang mengisi hatiku, memberiku semangat dan motivasi, yang selalu hadir meski tak setiap pagi mengucapkan Good Morning dear seperti yang dilakukan pasangan lain di cerita-cerita yang lain. Kak Davis itu hampir seperti Josef, penuh kasih tapi tak lebay, tak jarang aku agak manja padanya. Another Sleepless night Mengerjakan bab V dan revisi bab IV mulai terasa melelahkan. Waktu menunjukan pukul 1 am. Kepalaku pusing karena menatap laptop terlalu lama. Jari-jari ini mulai lelah mengetik. Andai dunia ini sungguh memiliki Doraemon, aku akan meminta bantuannya melakukan hal-hal ini. Kak Davis menelfonku tiba-tiba. Dia mengajak video call sebagai bayaran karena seharian full ini dia sibuk bekerja dan membantu pamannya mengurus beberapa hal. Aku tak menolak karena revisianku memang hampir selesai. Kami saling berbagi cerita. Lucu saja sampai pukul 3 AM kami masih asyik membahas beragam topic. Dia juga menasihatiku soal mempersiapkan diri menghadapi sidang nanti. Dia menceritakan karakter masing-masing dosen saat menguji di sidang skripsi. Aku terpanah pada cara bicaranya, cara tertawanya, pola pikirnya dan pribadinya yang tenang juga dewasa. Selama bersamanya, hal yang paling menyenangkan adalah ketika dia mengabari besok atau lusa akan ke kotaku. Dia akan mencuri waktu untuk bertemu meski sebentar saja. Meskipun harus bermasker dan berbincang dengan menjaga jarak. Kak Davis memanggilku cantik, sementara aku senang memanggilnya March a.k.a his month of birth. My Thesis Defense Day / Hari sidang skripsiku Tak pernah kusangka semua berjalan sangat menegangkan. Wajah-wajah dosen pengujiku terkesan seperti akan menelanku saja. Tetapi kata mama saat memberkatiku sebelum berangkat, “bayangkan saja wajah mereka adalah aktor dan aktris Hollywood kesukaanmu, oh iya bayangkan juga salah satu dari mereka sebagai Thor, si tampan itu. Hahaha”. Betul juga. Aku melewati masa-masa kritis itu penuh haru. Saat melangkah keluar ruangan, aku merasa lega bukan kepalang. Gelar sarjana sudah kuraih. Gelar itu terpampang nyata lewat selempang yang kupakai hadiah dari Senjani. Aku mengirim fotoku ke grup keluarga, ke Instastory, WhatsApp story dan laman Facebook, biasalah namanya juga meluapkan kebahagiaan. Josef yang pertama me notice Instastory. Kata-kata indah nan bijaksana ala-ala Frater mengisi kolom pesan diikuti dengan permintaan mengirim foto yang terbaik kepadanya. Sementara itu Kak Davis belum ada kabarnya. Senjani bilang sepulang dari sini kami jangan lupa untuk berdoa masing-masing, aku nunut saja. Betapa menyenangkannya aku dan teman-temanku sudah sama-sama berhasil. Terimakasih tak terhingga kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bekerja lewat banyak tangan dan bibir yang utarakan doa. This is the Best day Ever, meskipun sebenarnya kehadiran atau ucapan selamat dari Kak Davis adalah yang masih kutunggu. Kak Davis tetap tak ada kabar sampai waktu yang cukup lama. Meninggalkan tanda tanya juga rindu. Kak Davis, ternyata….. Aku sedang menunggu pengumuman keputusan untuk Yudisium, jadi hari-hari kuselesaikan dengan rebahan di rumah. Sesekali membantu orangtua membereskan pekerjaan rumah. Aku juga belajar secara otodidak bahasa asing loh. Bahasa Spanyol dan Jepang. Bosan di kosan, Senjani main kerumahku, dia mengajak serta Nobita bersamanya. Nobita adalah sahabatku yang lain. Karena dia agak dewasa jadi aku lebih suka curhat ke Senjani yang seumuran. Lebih nyambung saja menurutku. Meski begitu Nobita adalah yang paling pengertian, dia seperti kakak perempuan yang cerewet dan anti jika kami menceritakan fenomena galau-galauan karena pria. Dia benci hal itu. Yang dia junjung adalah prinsip bahwa wanita harus menjadi pribadi yang independen. Senjani dan Nobita datang membawa serta martabak titipanku. Mama dan ayah menyapa kedatangan mereka dengan hangat, tak lupa menyuruh untuk cuci tangan dulu di teras rumah. Mood ku sedang tak baik. Kupasang earphone dan memilih mendengarkan podcast milik penulis kesayanganku, Eko Saputra Poceratu. Podcast miliknya sangat menyentuh, penuh pesan dan kesan. Senjani dan Nobita masih sibuk foto-foto. Mereka juga asyik-asyiknya mengcover lagu melow seakan menembah kegalauan yang kurasakan. Nobita sibuk phubbing dengan gadget nya. Senjani sibuk sendiri. Nobita lalu mengscroll laman facebook, dia kaget saat melihat foto seseorang yang dikenalnya. Katanya, mantan dari mantannya mengunggah foto prewed. Dia mengomentari foto pertunanganan orang tersebut yang terkesan unik, sakral dan tertutup hanya mengundang kalangan keluarga. Aku dan Senjani lompat ke arahnya, sekedar ingin melihat apakah wajah mantan dari mantannya itu cantik saat pertunangannya ataukah tidak. Satu kata “sempurna”. Josef lalu menelpon, katanya ada kurir yang akan mengirim bingkisan darinya. Dia meminta aku berjaga-jaga dan tetap mengaktifkan HP. Tak lama berselang, kurir itu menelponku. Aku dan Senjani menunggu di depan rumah. Kami menerima paket itu lalu membuka kardusnya. Senjani sempat mengomentari riasan wanita yang tadi ditunjukkan Nobita itu cantik, tetapi kurang soft. Si ahli make up ini memang suka menjudge riasan orang lain. Aku saja dipanggilnya tim bedak bayi karena sampai sekarangpun aku hanya tau bedak bayi Hahaha. Kami cuci tangan dan masuk ke kamar. Mama bertanya soal siapa yang datang. Kukatakan saja kekasihnya Senjani yang datang dengan kereta kencana. Senjani lalu mengejarku. Josef memberiku bingkai foto, kaos oblong dan kontas Rosario juga salib dan sebuah buku doa. Anak ini memang ajaib. Sementara asyik-asyiknya chatting dengan Josef, Senjani ngedumel soal pacarku yang hilang ditelan bumi. Betul, Kak Davis memang tak ada kabar sejak sidang skripsi sampai hari ini. Dia memang aktif di social media tetapi pesan dariku tak satupun dibalas. Jangankan dibalas, diread saja tak pernah. Aku memang galau tetapi karena ada Josef yang selalu menemani lewat chatting, kesepian itu kadang tak begitu tampak. Sesaat sebelum Senjani dan Nobita pamit pulang, Handphone yang ku genggam jatuh ke lantai sampai mereka berdua melongo kearahku. “what happens?” Nobita bertanya penuh ekspresi heran. Sebuah pesan dari kak Davis. Dia mengucapkan selamat kepadaku soal gelar sarjana, yang mengagetkanku adalah dia menyertakan pula fotonya bersama seorang wanita, wanita itu adalah orang yang sama yang tadi kulihat di handphone Nobita. Senjani dan Nobita mengambil handphoneku. Lalu mendekapku dalam pelukan. Hari itu hujan turun dnegan lebatnya, selain di luar, hujan juga mengalir di lembah pipi chubbyku. Tak berhenti, masih terus mengalir sampai aku tertidur dan malam berganti pagi. *** Karena Sekarang aku jadi anak kosan, anak rantaulah bahasa kerennya. Aku harus bangun dan memasak sarapanku sendiri. Bekerja sebagai seorang wartawan TV ternama di ibu kota adalah mimpi yang tak pernah singgah sewaktu di bangku kuliah. Dulu aku ingin menjadi tour guide, penulis, penerjemah tetapi sekarang inilah aku. Reporter muda berusia 23 tahun yang cantik, jomblo yang suka makan eskrim bersama tim kameramen kesayangan. Oh iya, Senjani sekarang menjadi salah seorang ibu bhayangkari, suaminya adalah pacar pertamanya. Sementara Nobita belum menikah, dia bekerja sebagai seorang pengusaha perhotelan dan juga translator. Josef tetap setia pada panggilannya. Well, kembali ke tim kameramen kesayanganku. Mereka adalah Dani dan Rio. Dani berasal dari Toraja dan Rio dari Semarang. Setelah pandemic berakhir satu setengah tahun yang lalu, perekonomian negaraku sedang berbenah, banyak hal terjadi, banyak hal berlalu, banyak kisah untuk disiarkan, banyak fakta untuk diberitakan. Aku sudah selesai dengan sarapanku juga susu hangat manis yang dari dulu selalu satu merek. Aku memang loyal dalam hal apapun. Setibanya dikantor, Dani bercerita soal adiknya yang akan menikah. Katanya mereka sudah tunangan sejak pandemic sedang booming, hanya saja pernikahannya baru diadakan sekarang di Toraja. Aku melihat foto adiknya dan tertegun. Dunia rupanya kecil sekali. Ternyata adiknya akan menikah dengan Kak Davis. Iya, laki-laki yang kucintai dulu. Rupanya wanita ini orang yang sama, yang mengingatkanku tentang waktu itu, Senjani dan Nobita sampai kebingungan menenangkanku. Tapi ya sudahlah, kupendam sendiri. Selagi asik mengobrol dengan Dani, Rio curhat soal kejenuhannya menghadapi pacarnya yang tak dewasa, labil, tiap saat bilang rindu dan menuntut ingin selalu dibalas pesan-pesannya. Rio berasumsi, pacarnya itu tak mengerti kesibukannya. Dia memilih untuk tidak memperdulikan pacarnya itu sejak dua minggu lalu sampai detik ini. “padahal kan aku juga punya dunia sendiri. Bosan.” hardiknya saat Dani menasihati. Aku meraih bahu Rio, membisiknya dengan pelan : “Mas, Diam adalah pamit yang paling menyakitkan. Aku pernah berada dititik itu, merasakan apa yang dia rasakan”. Rio terpaku sejenak. Kulanjutkan lagi bicaraku. “aku harus mengalaminya, menerimanya sendirian dan berusaha menemukan defenisi yang tepat dari “diam”. Awas nyesal loh mas. Syukurnya aku bisa melewatinya. Sekarang aku malah turut berbahagia menyaksikan laki-laki yang kucintai dulu itu akan menikah sekarang, iyakan Dan?” kukedipkan mataku ke Dani. Dani heran. Aku tertawa. Hahahaha. Rio masih melamunkan perkataanku. Kami lalu berangkat untuk meliput. Biar saja Rio dan Dani tak paham yang kukatakan. Hidup adalah drama yang penuh tanda tanya. Intinya manusia mesti menjalani yang memang harus dijalani. Dan soal cerita masa laluku yang kubagi diawal, aku hanya ingin bilang : “biar saja, manusia tanpa luka adalah manusia tanpa cerita. 3.44 am It was a mind race; Full of curiosity & unsettling thoughts. -cslthoughts-
Comments