top of page
Search
Writer's pictureSpectrum April

Vague

Updated: Aug 7, 2023



Menunggu adalah hal yang menjengkelkan, meski begitu aku masih menantinya sambil makan beberapa suap nasi goreng di meja dapur. Pacarku berjanji akan menelponku malam ini, setelah semingguan Dia lumayan sibuk dengan pekerjaan dan urusan keluarga. Lima hari lagi aku akan berangkat ke benua yang berbeda dan belakangan ini aku serasa dimanjakan oleh keluargaku, baik untuk tidak melakukan pekerjaan rumah, ataupun makan hidangan rumah apa saja yang aku inginkan. Sehabis makan, aku memeriksa sekali lagi seluruh koper dan barang bawaanku. Aman lengkap terkendali. Lima menit berselang, Pandji akhirnya menelpon, bicara banyak hal tentang yang terjadi di komunitasnya. Lalu, katanya, ayahnya kebetulan sedang berada di rumah untuk membicarakan pernikahan salah seorang anggota keluarga. Aku tak banyak bertanya, karena Dia sebenarnya cukup tertutup soal privasi orang rumahnya, meski telah berpacaran hampir setahun, kudengar ayah ibunya tidak suka padaku. Entahlah.

Di akhir pembicaraan, nada suaranya mulai berbeda. Bicaranya agak datar dan penuh keraguan. Mungkin karena aku akan pergi jauh yang mana perbedaan waktu tentu akan membuat kami mengorbankan beberapa waktu tidur atau bekerja untuk sekedar memberi kabar. Lalu, kalimat itu akhirnya keluar dari bibirnya.

“Sepertinya kita tidak akan cocok kedepannya. Aku tidak sanggup menjalani LDR, menurutku itu sia-sia. Bagaimana kalau kita jadi teman dan tetap saling mendukung?”

Aku bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi aku cukup marah dengan perkataannya. Kutanyakan alasannya dan dia cuma berkata bahwa ini adalah yang terbaik. Cerita kami berlalu tanpa akhir yang bahagia. Belakangan kudengar bahwa Dia akan menikah dengan wanita pilihan ibunya. Sampai aku menginjakkan kaki pertama kalinya di negeri paman sam saat winter menyapa, aku tidak mendengar kabar tentangnya lagi.

Begitulah, mimpi yang diimajinasikan bersama ternyata terbang terlalu tinggi sehingga tak tergenggam lagi. Aku melalui hari-hariku di sana dengan culture shock di awal kedatangan, lalu bulan-bulan penuh kegembiraan dan merefleksikan diri sembari menimba ilmu. Sayang sekali, setahun berlalu, Tuhan memanggil bapakku pulang duluan. Karena hatiku sangat amat patah, aku terbang kembali, menangis rindu dan pedih di pusara lelaki yang mengajari aku arti perjuangan.


***

Aku sudah memasang sabuk pengaman dengan benar, kulirik ke arah jendela, manusia yang berdiri di sana perlahan tampak mengecil, tapi lambaian tangan ibu dan kakak sulung masih kukenali. Di sampingku, seorang pria berusia senja berpenampilan dari keluarga kelas menengah atas sedang membaca majalah yang biasa disiapkan di belakang kursi pesawat. Dia tampak serius membuka lembar demi lembar meski kaca mata hitam masih dikenakannya. Aku menyapa dan dia tersenyum hangat. Perjalanan ini akan sama melelahkannya seperti pertama kali. Hampir memakan waktu 48 jam dengan 11 jam transit di beberapa bandara internasional. Transit pertama adalah di bandara Ngurah Rai Denpasar. Mungkin si bapak ini akan turun di Denpasar atau mungkin setujuan denganku ke bandara International Jakarta.

Empat puluh menitan berlalu, aku mulai rindu rumah. Rindu bapak dan rumah kecilnya yang kukunjungi senja kemarin untuk berpamitan agar tahun kedua perkuliahanku berjalan aman. Sarapan pagi tadi yang tidak lain merupakan masakan ibu masih membekas di lidah. Aku menyalakan HP, dengan mode penerbangan tentunya. Kugeser-geser slide foto dan seketika bola mataku berkaca-kaca.

Sampai bertemu lagi”. Aku membatin.

“Mau kemana Mbak?” Tanya si bapak.

“jauh pak” jawabku sambil menoleh ke arahnya. Dia sudah selesai dengan majalah itu dan sekarang menggenggam HPnya.

“ini pertama kali naik pesawat yah? Sepertinya sedih sekali tadi berpamitan dengan keluarga” rupanya Dia memperhatikanku di depan ruang check in.

“bukan Pak, tapi takut jet lag saja sih Pak, soalnya jauh.”

“kemana? Jakarta Ya?” Ia bertanya lagi

“ke Washington DC, Pak”

“wah Amerika ya Mbak. Mau apa Mbak? Sekolah atau bekerja?”

Sekolah Pak, di US tepatnya” perbincangan panjang kami dimulai dari dia memujiku. Aku bercerita bagaimana aku bisa sampai akan bersekolah di sana, bagaimana tahun pertama kuliahku berlalu dan dia sepertinya sangat banyak ingin tahu tentang proses pendaftaran beasiswa dan kampus luar negeri. Dia mengambil sling bagnya untuk mengeluarkan beberapa roti dan permen, aku mengambil satu, melanjutkan berbicara dan mendengarkan ceritanya juga soal kunjungannya ke Denpasar kali ini.

“Saya mengunjungi rumah, ada anak saya di sana. Dia bekerja di salah satu rumah sakit di Renon. Ada beberapa pekerjaan juga yang harus saya handle” terangnya.

Lalu aku menyinggung soal pegalamanku beberapa tahun lalu saat berkompetisi di sebuah kampus swasta di Bali. Kebetulan aku menginap di salah satu hotel di Renon juga. Si bapak tadi bercerita bahwa anaknya sangat sukses di sana, selain bekerja sebagai seorang paramedis, Putrinya ini membangun sebuah komunitas belajar untuk memfasilitasi putra-putri daerah yang berkuliah di Denpasar ikut berperan aktif melakukan kegiatan sosial seperti weekly clean up, campaign terkait isu lingkungan, terkadang menggalang donasi saat ada bencana alam di daerah asal dan juga program belajar gratis bagi anak-anak putus sekolah. Sangat menarik. Aku penasaran seperti apa putri si bapak ini, dari ceritanya, beliau sangat inspiratif dan visioner.

“Di umur yang masih muda, dia sudah sangat sukses dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Pasti orangnya sangat keren ya Pak?” si bapak tersenyum bangga tapi berusaha merendah.

“bisa jadi mbak. Mbak orang mana? Orang sini yah?” Tanyanya agak serius.

“Iya pak, saya lahir dan besar di kota Mentara, tapi aslinya ada keturunan Javanese, gado-gadolah Pak, hehe, kalau Bapak, asli Denpasar?”

“Oh bukan, saya asli orang Nutelas” kata si Bapak.

“Nutelas mana? Dulu tiga tahun lalu saya pernah punya project sosial bersama masyarakat Nutelas utara, Pak, saya tinggal di dusun Mandali kurang lebih dua bulan”.

“wah kebetulan sekali, saya dari utara tapi berbeda dusun. Kalau kamu ke dusun Mandali, pasti melewati jalan di depan rumah saya, kami punya ruko di situ, Lentera Bakti.” Terangnya.

“itu ruko punya bapak? Saya sering kesana Pak untuk ngeprint dan belanja” tanyaku.

“bukan, itu punya putra sulung saya”

Aku mulai membatin, ruko itu punya sejarah yang unik dan takkan pernah terlupakan, terlebih karena ada satu pria yang kutemui di sana, Dia menjaga di salah satu counter di ruko, Pandji, mantan kekasihku.

“hanya saya cukup lama tinggal di Denpasar karena ada pekerjaan juga, ini saya sudah tua jadi lebih nyaman balik ke kampung halaman.” Katanya melanjutkan pembicaraan.

“halaman berapa pak?” Si bapak tertawa sejadi-jadinya.


***


Berdasarkan informasi yang tertulis di boarding pass, 30 menit lagi pesawat akan landing. Si bapak kuperhatikan sudah mengenakan masker, tidur sepertinya. Mendengar cerita si Bapak, aku teringat tentang Pandji dan cerita yang telah kami lalui. Bagaimana hatiku dibahagiakan dan dipatahkan. Bagaimana semua bermula dari sepeda tua dan kegiatan bersama komunitas. Pagi hari saat aku akan berangkat setahun yang lalu, dia masih sempat mengucapkan selamat jalan dan sukses.

“Take care, buddy. Kamu sehat-sehat di sana. Kabari jika berkenan, semoga suatu saat kita bisa bercerita dan bercanda lagi. Ku harap kamu masih Liya yang sama.” Perkataannya terngiang-ngiang. Apa kabar Dia sekarang? Apa Dia sudah punya Pandji junior? Aku tertawa kecil.

apa Mbak sudah menikah?” Tanya si bapak sedikit bercanda,

“Putra saya sepertinya sefrekuensi denganmu Mbak, berjiwa social, lulusan S2, dia sekarang sedang stay sementara di dusun, mungkin berencana menikah satu atau dua tahun lagi jika sudah ketemu jodohnya”

“hahaha menikah belum jadi tujuan saya kok Pak, hehe, tapi bolehlah jika anaknya dikenalkan untuk jadi teman” kataku basa-basi meski tak begitu serius dengan ucapanku. Si bapak membuka maskernya lagi. Dia mulai mempromosikan karakter anaknya, karya dan pekerjaan yang dilakukan si anak. Leo namanya.

“kalau di umur segitu pasti sudah punya kekasih lah, Pak” gurauku kepadanya.

“belum, saya yakin. Leo masih single.Mau lihat fotonya?” tawar si bapak.

“boleh kok Pak.” Jawabku agak sedikit canggung. Bapak menunjukkan foto putranya, lalu keluarganya, lalu foto putranya di ruko, lalu putranya bersama pegawai ruko. Aku begumam karena menduga pasti ada fotonya Pandji di sana. Benar saja, ada foto Pandji bersama Leo di depan Ruko persis, terlihat Pandji sedang mengecat tembok ruko.

“aku kenal pria ini, Pak. Pandji kan”

“Mbak kenal dia? Bagaimana ceritanya?”

“bingung Pak ceritanya gimana. Pokoknya pernah pacaran hehe.” kataku bercanda. Si bapak terlihat kaget dan sedikit bingung.

“Saya tidak sangka loh kamu bisa mau sama Pandji, anaknya memang pekerja keras tapi introvert dia”

“Anaknya baik, saya kenal dia karena dia dan komunitasnya volunteer di project saya juga. Kepeduliannya cukup tinggi untuk anak-anak putus sekolah di dusun”.

“oh iya ya. Dia dulu biasa membantu Leo mengurusi proyek konstruksi di kota jadi setahu saya dia jarang mengurusi urusannya sendiri di dusun.” Terang si Bapak.

“kamu dulu waktu ke ruko, pernah lihat Leo?” Bapak matanya berbinar-binar, dia ingin mendengar lebih.

“tidak pernah sih Pak, Cuma sering ketemu Pandji, kadang juga saya sering diantar pulang ke dusun sama dia, sepedaan kita”

“sepedaan? Tidak pake Mobil?”

“Dia orangnya sederhana Pak, setahu saya dia gak punya mobil hehehe lagipula memang saya yang minta naik sepeda”

“kalian pacaran berapa lama saat itu?

“hampir setahun Pak” kataku.

“kenapa dia tidak sempat memperkenalkan kamu ke orang tua yah?”

“Kok bapak tahu? hehe itulah Pak, menurut saya dia tidak serius makanya kita udahan atau bisa jadi bang Pandjinya mau mengenalkan tapi orang tuanya yang gak suka, entahlah hehehe”

“kenapa Mbak bisa menyimpulkan seperti itu? Aku mulai merasa tak nyaman dengan pertanyaan lanjutan seperti ini. Pun, aku menjawabnya.

“nebak saja sih Pak, karena tidak pernah dikenalkan.”

“wah saya jadi ingat satu hal. Leo pernah cerita sama saya soal teman misterius Pandji yang namaya Liya. Liya itu Mbak ya?

“iya benar Pak, cerita soal apa?”tanyaku penasaran.

“ngapain pegawai ruko curhat soal pacarnya ke ayah dari bosnya coba?” aku bertanya-tanya dalam hati.

“Sebelum sakit, katanya dia mau sekolah lagi karena terinspirasi sama temannya, baiklah jadi semua masuk akal sekarang yah hehehe” si bapak tersenyum lebar saat bicara.

Aku masih tak mengerti banyak hal. Banyak sekali tanda tanya bersarang dalam logika.

“Saya tidak menyangka loh kalau dia sangat dekat dengan keluarga Bapak. Apa kabar dia sekarang Pak?

"sakit apa kalau boleh tahu?" aku bertanya lagi.

“Panji itu kakaknya Leo, Dia putra sulung saya. Sekarang dia baik-baik saja sepertinya, di atas sana, cancer memanggilnya pulang”.


Saat Dia tidak sempat memberiku waktu dan ruang untuk mengenal lebih dalam keluarganya, dalam hal ini, laki-laki hebat yang membesarkannya, Tuhan mengirinkan cerita pertemuan secara kebetulan yang datang dengan ajaibnya, meski terlambat dan tanpa sebuah pamit.


Cheers | G.April

171 views0 comments

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page