Mari, berjalan mundur. Tempatkan kopi panas di sampingmu. Kisah ini sangat pas kau baca dalam keheningan malam, tepatnya saat larut menuju pagi.
.
.
.
Dia mengayunkan sesendok lagi nasi, padahal sudah berkali-kali gelengan kepalaku hadir mewakili sebuah penolakkan. Mulutku kukunci rapat, serapat isi hati yang tak siapapun tahu kecuali Tuhanku.
Dia memberiku segelas air setelah sebelumnya mengganti dengan air hangat yang baru. Maklum, tiga puluh menit lalu, air di gelas kaca bening itu kupelototi tanpa kode akan kuteguk ataukah tidak. Aku masih enggan mempersilahkan bibir mungilku untuk mencium mulut gelas. Nanti dulu.
Dia mengupas apel merah lagi. Padahal dua buah apel sebelumnya tak kusentuh dan akhirnya mencoklat hingga berujung di keranjang sampah di sudut ruangan beraroma obat-obatan ini.
Dia lelah. Kini dia meletakan kepalanya di samping tanganku. Tangannya menggenggam tanganku. Kudengar dia bisiki nama Tuhan, lalu namaku. Aku mengamati. Rambut hitam legam yang dulu kupuja kini memutih sembari Ia menua. Tangan lembut yang suka mencubit pipiku kini keriput, kasar karena mengurus aku dan isi rumah kami.
Kualihkan pandangan pada dua kakiku yang sudah tidak berguna, lalu pada botol infus yang menetes perlahan sampai akhirnya tetesan itu pecah seperti mata air yang beberapa menit ini sudah tertumpuk di sudut kelopak mata. Ia pun mengalir sesukanya, tak tahu kapan, diriku, yang mana adalah pemilik sah mata air ini akan menyumbatnya sementara, agar wanita cantik disampingku tak terkena percikannya, atau bahkan terbangun karena melodi rintihannya.
.
.
.
Banyak pesan singkat masuk di Handphonenya, berdengung di antara kesunyian ruangan VIP mahal yang membuat keluargaku harus berutang lagi ke rentenir. Ada yang bilang ingin mampir mengunjungiku, ada yang bertanya aku ingin pesan apa, ada pula yang berkata akan mengirim salam rindu lewat doa agar tak lama lagi ‘kan bersua.
“Datang ya datang saja”, Batinku.
Dia terbangun kini, bekas tangan dan rambut tergambar di pipinya. “aku cuci muka sebentar, kamu disini saja”. Katanya.
“ha? Memangnya akan kemana aku yang bahkan berdiri saja tak mampu?” kataku, dalam hati.
Sebuah ciuman hangat mendarat di keningku.
“badanmu hangat lagi, berbaring yah, sini hape, jangan banyak memaksa nalar bekerja keras. Jawaban untuk beberapa hal kadang datang tak sesuai kira, tiba-tiba, tanpa berita. Aku mencintaimu.” Katanya lagi sambil menarik selimutku menutupi hingga dada.
Ciuman hangat yang kedua mendarat lagi di punggung tanganku.
“cepat sembuh, kupanggilkan pak dokter dulu”
“iyah, terimakasih. Cepatlah kembali. Aku mencintaimu” kataku kepadanya saat dia sudah melangkah pelan keluar, menuju ruangan dokter.
***
Tiga bulan berharga dalam hidupku.
Dia menggendongku ke sekolah, berjalan kaki, menyusuri trotoar yang memberi kami debu jalan sebagai bedak dan parfum alami.
Kala jam sekolah usai,
Aku termenung di dalam kelas,
sepi, tak lagi ramai berpenghuni,
Sepuluh menitan kuhabiskan penantian sambil menggambar bebek dan pemandangan persawahan yg identik dengan anak sekolah lugu kampungan.
Lalu Dia datang menunjukan senyum termanisnya,
"Sudah kumasak makan siang spesial untukmu"
Aku naik ke punggungnya, tentu saja dibantunya.
"Hari ini belajar apa?"
"Jajan pisang goreng lagi?"
Hari ini aku belajar banyak Bu,
Dia mendengarkan ceritaku. Kubuat jadi seru padahal yg kulakukan di kelas hanya duduk di kursi dan teman teman tertawa berlarian di halaman sekolah.
***
Tiga bulan itu berharga,
Kenapa tiga bulan?
Karena di titik terendahku, Tuhan menghadiahkan cara pandang baru, yang mengubah seluruh hidupku. Terlebih perihal bagaimana menghargai waktu dan mencintai secara utuh.
Iya. Disaat sayapku patah dan rapuh,
Malaikat itu memberi tumpangan mahal secara gratis yg tak siapapun mampu tawarkan kepadaku.
Aku naik ke punggungnya,
Memeluk erat sayap tak kasat mata miliknya,
sambil mengalungkan tangan ke lehernya.
Begitulah bagaimana pengalaman bergulir penuh suka cita sampai akhirnya aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri.
Mungkin di kala malam lelap tidurku,
dia bicara pada Tuhan, memohon agar Tuhan menyembuhkan sayapku yang patah.
Terimakasih ibu, Malaikatku.
(mixed fiction and real) *inspired by personal experience*
Comments