Malam-malam di akhir bulan Juli ini semakin dingin. Menurut BMKG Nusa Tenggara Timur, per tanggal 26 juli, suhu di Ende saat malam hari berada di 21°C, dengan presipitasi 2% dan kelembaban 90%. Beberapa malam ini pula, orang-orang yang datang berbelanja di warung kecil kami semakin rajin mengenakan sarung Ende-Lio, untuk menghangatkan tubuh mereka dan tak lupa mengenakan masker. Orang tuaku sangat disiplin menerapkan protokol kesehatan, sehingga kami anak-anaknya diminta selalu rajin menyediakan air bersih dan sabun cuci tangan di depan warung serta mengisi penuh kembali airnya saat sudah habis. Kadang beberapa pelanggan mengeluhkan hal ini karena prosesnya yang dirasa membuang-buang waktu. Namun, tetap saja menjaga kesehatan adalah nomor satu terlebih di masa pandemi seperti ini. Kembali ke malam-malam akhir bulan Juli yang dingin mencekam. Hal ini telah berdampak cukup signifikan terhadap tuntutan akan persediaan kopi bubuk yang harus disiapkan Ibu di dapur. Begitupun dengan gula. Aku punya dua orang abang pencinta kopi dan tentu saja mereka adalah alasan kenapa semua bubuk kopi begitu cepat menghilang.
Detik ini, aku baru saja selesai memeriksa tugas bahasa Inggris yang dikirimkan para murid les privatku. Sudah kusiapkan feedback untuk masing-masing murid, hanya saja aku senang megirimkannya saat minggu sore. Ini bertujuan agar mereka bisa mempersiapkan diri lebih baik dengan materi maupun tugas untuk pertemuan berikutnya. Setiap minggu, aku selalu mengirimkan laporan peningkatan hasil belajar kepada orang tua para murid sehingga mereka dapat terus mengikuti perkembangan anaknya setelah bergabung di proyek tutorial privat yang kukerjakan. Aku meraih segelas teh hangat, meneguknya dan mulai mengecek Instagram untuk mengikuti pemberitaan dari VOA Indonesia dan lainnya. Saat aku ke dapur untuk meletakkan gelas tadi, aku mendengar suara video. Rupanya suara tersebut berasal dari HP ayah yang sedang menonton tayangan di YouTube. Mengingat umurnya yang hampir memasuki kepala 7, aku memintanya untuk berhenti dan segera tidur. Mendengar itu, intensitas suara dari HPnya perlahan menurun hingga tak terdengar apapun.
Keesokan harinya, ayah memarahiku karena kejadian semalam. Katanya, “ini adalah handphoneku, yang kutonton adalah berita dan konten YouTube edukatif dengan isu-isu terkini, PPKM misalnya, virus monyet hitam sudah masuk Indonesia lah. Kau tau? Makanya, jangan hanya main Instagram”. Aku tersenyum. Ia mulai berkisah perihal betapa sulitnya kehidupan yang dia lalui sejak sekolah dasar, bagaimana perjuangannya menjual kuda agar bisa bersekolah, dan cerita penuh kepahitan saat harus berjalan ke Nangaroro untuk bersekolah. Ia harus berjalan kaki sejauh 4 km dengan menyusuri bibir pantai dari Nangapanda. Ayah bercerita bahwa Ia harus bangun pagi buta dan memasak air untuk menyajikan teh bagi anggota keluarga dari rumah yanag ditumpanginya. Ayah juga harus merebus daun ubi, mengolahnya menjadi sayur urap untuk sarapan. Ia harus sarapan karena perjalanan setiap harinya adalah melelahkan, jauh dan bisa membuatnya terlambat jika berjalan lambat. Jika taka da sayur untuk diolah, kata ayah, dia akan membakar ubi seadanya, apapun itu asalkan perutnya sedikit terisi. Aku megamati kumisnya perlahan, lalu dahinya yang mengkerut dan ada sedikit bekas luka. Ayah menghardikku bahwa semalam, Ia sedang menikmati impian masa kecilnya, yakni menjadi teman teknologi kapan saja dan dimana saja. Salah satu yang ingin Ia lakukan adalah dengan menonton video YouTube hingga tengah malam. Kukatakan padanya bahwa aku hanya mengkhawatirkan kesehatannya. Setelah pensiun, pekerjaannya sekarang adalah aktif di media sosial. Jangan salah. Ayahku memiliki akun di berbagai media, seperti Facebook, Messenger, Telegram, Instagram, WhatsApp dan Twitter. Aku yakin, mereka-merekalah yang berperan membuat hari tua ayahku semakin berwarna. Ayahku sendiri dulunya bekerja sebagai guru, sekarangpun masih, masih menjadi guru untuk kehidupan kami anak-anaknya. Sesekali saat Ia tak sibuk dengan medsosnya, kami akan bersama-sama mendiskusikan program tutoring bahasa Inggris yang aku geluti. Ayah mengingatkan agar aku memperhatikan kurikulum dan materi bahasa Inggris berdasarkan kebutuhan murid. Sesekali Ia bercerita tentang kejamnya guru-guru di sekolah dasar jaman dulu saat tak satupun murid mampu menjawab pertanyaan. “Rotan dan bilah bambu adalah teman kecil kami di bangku sekolah”. Pendidikan di tanah Flores memang keras katanya, tapi hasil yang dipanen sungguh berkualitas. Terkadang aku tak dapat membantah itu. Hehehe.
Aku memberinya segelas teh hangat. Ia meneguknya dan mulai berbicara tentang hal-hal yang dia sukai. Semisal, “bagaimana cara untuk mendaftar giveaway ini?” Ayahku sangat penasaran dan optimis bahwa suatu saat dia akan mendapatkan giveaway dari penyelenggara online di linimasa Instagram. Tegukkan teh yang kedua berhasil membuatnya mengulang cerita tentang bagaimana Ia menjual kuda saat ingin kuliah. Hidup sebagai yatim piatu saat lulus SMA membuat dia dan saudaranya hidup mandiri, bertani, dan rajin memberi makan kuda, harta yang tertinggal. Aku jatuh hati pada perjuangan ayahku. Katanya, “pada suatu hari yang cerah, ayah dan saudara ayah turun dari desa terpencil yang terletak di area perbukitan bernama Watumite untuk menjual kuda. Hasilnya akan ayah gunakan untuk membeli tiket kapal ke Kupang dan membeli dua potong baju untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Kupang. Saat tiba di pasar Nangapanda, orang-orang menawar kuda dengan harga yang sangat murah, ayah harus berjalan lagi ke Ende untuk mendapatkan harga yang pantas.”
Aku menyuruhnya meminum teh hangatnya lagi. “kenapa berani kuliah jika tidak mampu?” tanyaku. Dia menjawabnya sederhana, “setiap kali musim panen padi tiba, ayahku sudah berpesan bahwa saat aku ingin merantau untuk sekolah, aku harus dan akan pulang membawa sesuatu”. Sedikit bergetar hatiku saat dia mengucapkannya dalam bahasa Watumite mengenai amanah dari kakek. Begitulah ayah, berbekal keinginannya yang kuat untuk mengubah kehidupannya dan juga amanah dari kakek, Ia berangkat ke kupang dengan uang seadanya dan baju baru agar rapi saat mengikuti tes masuk PT. Ayah diterima di program studi pendidikan Kewarganegaraan. Ia menjadi guru sesuai dengan mimpinya. Seketika, aku teringat kala masih kecil, ayah selalu melatih kelima anaknya untuk mengucapkan Pancasila dalam bahasa Inggris. Kami semua sangat antusias. Kami menghafalkannya meski tidak tau cara penulisan yang benar. Detik ini, kuingatkan kembali padanya mengenai cerita Pancasila bahasa Inggris, dia spontan mengucapkan kelima sila itu dalam bahasa Inggris, dan aku sangat terharu karena setalah belasan tahun baru sekarang aku sadar bahwa pengucapan bahasa inggris Pancasila ayahku itu sangat kaku, tapi dulu kami semua begitu bangga saat bisa mengucapkan Pancasila dalam bahasa Inggris. Sungguh, ayahku sangat keren.
Ayah meneguk lagi teh hangat. “Rani, apa kita punya biskuit”? tanya ayah penuh harap. Maklum, giginya sudah rontok sehingga Ia senang memakan biskuit yang dicelupkan ke teh hangat. Aku ke dapur untuk memeriksa apakah biskuit semalam yang tersimpan di toples masih ada ataukah tidak. Ternyata masih ada. Tiba-tiba, Ibu duduk bergabung bersama kami. Diskusi kami merambat ke banyak topik, termasuk Ibu yang menonton kembali video-video aku berbahasa Inggris yang kuunggah ke media sosial. Ayah mengomentari pengucapanku yang menurutnya harus terus dilatih agar terdengar lebih natural. “Saat SMA, aku dulu adalah kamus berjalan” katanya sedikit sombong tapi tentu dengan niat memotivasi dibaliknya. Aku sudah mendengar kalimat ini ratusan kali dari bibirnya. Aku mengakui itu, karena memang aku sering melakukan percakapan sederhana dengan ayah. Hehehe. “yah, apa kau tau salah satu slogan dari stasiun Tv X yang ada kata elevate-nya?” dia langsung tahu kanal tv mana yang kumaksud. Lalu aku katakana padanya bahwa kata elevate adalah kata yang mulia dan keren digunakan oleh kanal tv ini, karena pada saat mereka mewartakan berita, mereka turut meng-elevate pengetahuan dari penonton berita itu. Ayah terpancing diskusi ini. “yah memang itu sejatinya arti dari slogan pendidikan ada di segala ranah. Dari TV kalian belajar kan? Dari film kartun juga kalian belajar (pesan moralnya). Dari caption-caption puitismu di Instagram, orang lain akan belajar sesuatu. Selalu ada yang dapat kita pelajari dari segala hal. Selalu ada sesuatu yang mampu menge-elevate pengetahuan kita". Dia sambung lagi “Education makes us gain another piece of knowledge” itu artinya keren toh? Ayah membacanya di salah satu captionmu. Nah ingat itu .” Katanya. Saat ia mengucapkan caption bahasa Inggris tadi, bibirnya agak sedikit kaku tapi kepercayaan dirinya menutupi hal itu. “terima kasih yah” kataku. “bagaimana dengan menonton YouTube saat tengah malam, apakah ada sesuatu yang dapat dipelajari dari situ?” sambung Ibu. Kami tertawa bersama. Kata ayah, “tentu saja, asal aku selektif”. Kuperhatikan Ibu yang mulai menertawakan ayah. “bagaimana dengan suara girlband bernyanyi yang kudengar semalam? Apa ayah sedang belajar bahasa korea?” Ibu kembali bertanya, aku sudah ngakak sedari tadi. Ayah dengan ekspresi menahan tawa berkata, “oh itu iklan”.
Saat ayah selesai dengan tehnya, dia memintaku meletakkan gelas bekas ini ke baskom rendaman perkakas kotor, lalu mengambil air putih untuknya. Kenapa air putih? Menurutnya, hal yang manis-manis harus berdampingan dengan yang tawar, agar setiap kali manusia minum, mereka sekaligus mengingat, betapa hidup ini punya masa indah, masa sulit, dan masa refleksi.
cheers
RA
Comments